About Andda

Foto saya
Surabaya, East Java, Indonesia
I'm an ordinary female with great passion. I'm psychologist wannabe soon, and also stars, shoes, travelling, rainbow-lovers... Just send me via email, tell ur problems, n' i'll help u, inshaallah. :) I'm chocomilk, dragonfruit n' yoghurt lovers, gadget freak, n' books lover.
Free Music Online
Free Music Online

free music at divine-music.info

Jumat, 08 Maret 2013

Ngobrolin ARISAN Nih! Capcus, chiiin... :)



          Duh, siapa sih yang nggak tahu istilah arisan? Dari ibu-ibu sampai anak kecil pun tahu arisan. Arisan yang notabene menjadi ajang interaksi sosial para ibu rumah tangga, bahkan sampai sosialita. Semua kalangan dari menengah ke bawah sampai menengah ke atas pun tahu dan menjadi anggota arisan, dengan nama kelompok arisan yang lucu-lucu, contohnya kelompok arisan para ibu-ibu muda sosialita ibukota menamakan mereka kelompok arisan Cetar.
            Arisan merupakan budaya yang tercipta dalam lingkungan masyarakat Indonesia menggunakan konsep menabung atau mengumpulkan barang yang bernilai sama (kebanyakan berupa uang) yang akan ditarik melalui cara mengocok nama, yang mana nama yang keluar, dialah pemenang arisan tersebut dalam waktu berkala, sesuai kesepakatan anggota arisan tersebut. 
              Sensasi yang didapatkan apabila memenangkan arisan pastinya deg-degan, penasaran, senang, dan bangga. Arisan biasanya diadakan di lingkungan RT, sampai kecamatan, keluarga besar, komunitas, perusahaan atau lembaga-lembaga pemerintahan, sampai anak sekolahan. Dan, sekarang sedang trend arisan online (hati-hati kebanyakan sih penipuan dan money game).
            Pada dasarnya konsep arisan itu menabung dan kredit. Maksudnya apa nih? Contoh konkretnya begini, pertama, apabila seseorang memenangkan kocokan arisan di periode pertama arisana, maka dia terhitung berhutang. Sedangkan, bagi seseorang yang memenangkan arisan di periode terakhir (baca : urutan terakhir) maka dia terhitung menabung uang.
             
           Konsep arisan yang berawal dari niatan para ibu rumahtangga guna menunjang kegiatan perekonomian keluarga. Saat ini makna arisan mulai bergeser seiring perubahan jaman. Arisan yang dulunya menjadi ajang kegiatan keuangan mikro (microfinance), sekarang bergeser menjadi ajang aktualisasi diri khas perempuan. Tidak hanya ibu-ibu yang terlibat dalam kegiatan ini, bahkan anak sekolahan pun juga bisa mengadakan arisan. Bahkan, ada kegiatan arisan plus yang menjadi kegiatan yang menjurus ke arah seksual, biasanya budaya pop itu terjadi di kota-kota besar yang dipenuhi sosialita.
            Dulunya arisan menjadi budaya khas Indonesia yang mementingkan kedisiplinan menabung dan membayar hutang, yang bisa menghemat atau mendukung kegiatan perekenonomian keluarga, kini muncul sub-budaya berupa pemborosan atau pengeluaran ekstra. Misalnya nih, ada kelompok arisan A mengadakan arisan dengan kocokan arisan setiap sebulan sekali, nah pastinya ada yang membawa barang dagangan tuh, biasanya sih para perempuan langsung “hijau” melihat barang-barang yang menggiurkan mata itu untuk dibeli, akhirnya barang yang bukan menjadi kebutuhan dibeli juga karena azas keinginan semata. Ada yang bayar cash bahkan kredit, yang bikin makin nggak efisien ya kredit itu, apalagi kalau ada system cicilan berbunga. Nggak cuma itu, pemborosan bisa terjadi juga lewat pengeluaran untuk dresscode arisan setiap bulannya yang selalu berbeda-beda temanya. Pastinya nggak mengeluarkan budget yang sedikit dunk? Belum lagi mengadakan arisannya di cafĂ© atau resto-resto mahal, wah.. berapa duit itu sudah yang dikeluarkan? Apa seperti itu masih dibilang hemat kalau ikutan arisan. Kalau diadakan di setiap rumah anggota arisan dan nggak pakai dresscode sih, pengeluaran masih bisa diminimalisir.
            Saya sepakat apabila Ligwina Hananto (perencana keuangan) memasukkan arisan sebagai pengeluaran rutin, bukan termasuk saving. Karena, iuran arisan dikeluarkan secara berkala dalam jangka waktu tertentu.
            Pada dasarnya perempuan lebih suka melakukan sosialisasi, dan arisan menjadi wadah untuk beraktualisasi diri para perempuan. Nggak jarang arisan menjadi ajang pamer kepemilikan diri seperti barang-barang yang dikenakan di tubuh, atau bahkan membanding-bandingkan jaringan, anak, bahkan suami mereka. Intinya arisan nggak lagi menjadi kegiatan konvesional, sekedar ngumpul sebentar lalu mengocok giliran penerima uang arisan, tetapi juga untuk memperluas jaringan.
            Sekarang malah ada arisan online, dan nggak jarang itu merupakan money game dengan mematok  kontribusi registrasi yang sedikit, dengan perhitungan kalau tidak dapat ya nggak akan rugi. ada juga modus penipuan lewat arisan online. Studi kasus si A seorang mahasiswi pernah ikutan arisan online yang bisa mendapatkan sepeda motor, sayangnya dua bulan arisan baru berjalan, si Bandar hilang entah kemana, dan tidak bisa dihubungi sama sekali. Wah, berarti harus berhati-hati ya!
            Adapun beberapa segi positif atau keuntungan dari arisan seperti yang dikutip saya dari perencanakeuangan.com, yaitu:
  1. Ajang silaturrahim
Kata orang bijak, silaturrahim akan memanjangkan umur. Siapa sih yang tidak mau panjang umur? Ada banyak tips kesehatan untuk memanjangkan umur. Tapi saya rasa masih lebih mudah dan murah untuk bersilaturrahim dengan arisan untuk memanjangkan umur.
  1. Mendapatkan kenalan baru
Bagi Anda yang menjadi orang baru di suatu lingkungan atau organisasi, ini adalah sarana yang efektif untuk mendapat kenalan baru. Bukan cuma anggota arisan, terkadang ada juga anggota arisan yang membawa teman atau keluarganya mengikuti pertemuan arisan. Dalam ilmu pemasaran, setiap kenalan akan menjadi captive market Anda.
  1. Sarana pemasaran dan membuat jaringan
Kalau Anda perhatikan, dalam setiap pertemuan arisan, selalu saja ada yang membawa barang dagangan untuk dipasarkan disitu. Entah itu makanan, pakaian, bahkan sampai perhiasan. Kalau Anda sesuatu untuk dipasarkan, saya rasa pertemuan arisan bisa menjadi tempat yang bagus untuk memasarkannya. Tidak harus dalam bentuk barang, keahlian Anda pun bisa dipasarkan disana. Dan tidak harus dengan terang-terangan menawarkan jasa karena dengan memperkenalkan diri sebagai penjahit misalnya, Anda secara tidak langsung sudah menawarkan jasa jahitan kepada mereka.
  1. Sarana belajar menabung
Ini adalah alasan kebanyakan orang ketika memutuskan untuk ikut arisan, sebagai sarana belajar menabung. Karena biasanya, kalau orang lain yang menagih kita untuk ikut arisan itu akan lebih efektif daripada kita menagih diri kita sendiri untuk menabung.
Tapi seringkali orang lupa, bahwa yang namanya belajar menabung, tidak harus seterusnya, cukup sampai sudah bisa berdisiplin untuk menabung sendiri. Kalau memang sudah bisa menabung sendiri, buat apa lagi pakai arisan sebagai sarana belajar. Kan Anda sudah bisa melakukannya sendiri?
  1. Proses perencanaan keuangan
Nah, alasan ini sangat cocok untuk Anda yang punya keinginan untuk membeli sesuatu tapi ga mau repot menyimpan uang sampai terkumpul. Atau malah sengaja ingin mempercepat memilikinya daripada mengumpulkan uangnya dan menunggu sampai cukup. Kalau mengumpulkan uangnya sendiri, kita baru bisa membelinya kalau uangnya sudah terkumpul semua. Tapi dengan ikut arisan, walau tidak pasti, kita kan punya kesempatan untuk bisa memilikinya lebih awal. Tapi ingat, ini undian. Jadi jangan mengandalkan arisan ini kalau kebutuhannya mendesak dan sudah pasti waktunya. Arisan hanya efektif digunakan sebagai sarana perencanaan keuangan kalau yang ingin Anda beli memang tidak terlalu mendesak dan bisa fleksibel waktunya. Dan kalau mau lebih efektif lagi, saya sarankan agar ikut saja arisan barang yang memang sesuai dengan kebutuhan kita itu.

Kalo sisi negatif dari arisan menurut Yusnita Febri sih sebagai berikut:
  • Uang arisan di bawa lari pemegang. Kemungkinan ini kecil terjadi, apabila diantara peserta dan pemegang arisan sudah saling kenal.
  • Arisan berhenti ditengah-tengah putaran. Biasanya terjadi apabila salah satu anggota tak mampu membayar uang arisan. Untuk itulah pentingnya arisan tidak di lakukan dalam waktu yang cukup lama.
  • Tak ada dokumen tertulis untuk para peserta arisan apabila terjadi kecurangan. Dalam hal ini di butuhkan sistem saling percaya antara semua peserta.
  • Bisa jadi anjang gosip dan pamer. Maka dari itu sebaiknya hindari yang begini.

Jadi, buat kamu yang ingin beraktualisasi diri lewat arisan, sah-sah saja kok. Asal tahu kondisi, resiko, dan menanamkan trust antar anggota, dan tidak akan mengganggu kondisi perekonomian kita sih, silahkan aja! :)


Dilema Kehidupan Anak Jalanan (pengamen) dan Penjual Koran di Perempatan ITN Malang


    





 Dunia dengan segala realita yang ada tak mungkin tetap, selalu saja ada perubahan sosial yang terjadi secara lamban maupun cepat. Perubahan social mengakibatkan berbagai konflik, anomali sosial, atau kesejahteraan. Semua akan berdampak secara multidimensional di segala seluk kehidupan. Masalah kehidupan dapat dilihat melalui segala bidang seperti ekonomi, psikologis, social, budaya, bahkan kriminal. Salah satu dari sekian banyak masalah, ada satu masalah yang klise dimana hingga saat ini pemerintah atau negara manapun di dunia ini belum dapat menyelesaikan masalah ini, terutama di Indonesia. Anak jalanan. Anak jalanan merupakan masalah klise yang terjadi di negara ini. Bagi masyarakat,anak jalanan lebih sering mengalami dekadensi moral yang diakibatkan oleh pergaulan dan pengaruh lingkungan yang tak biasa diajarkan tata krama seperti yang diajarkan pada anak-anak di sekolah pada umumnya. Padahal tak semua anak jalanan seperti itu. Bahkan, tak sedikit juga dari kalangan akademisi yang mengalami dekadensi moral jauh lebih parah disbanding anak jalanan. Perbedaan hanya terselubung dan transparan saja. Begitu pelik masalah yang dihadapi oleh bangsa ini. Tapi mengapa pemerintah kurang memperhatikan masalah yang menyangkut pada kesejahteraan rakyat, terutama generasi penerus bangsa yang merupakan agent of change atau agen perubahan? Apakah masalah anak jalanan ini terlalu sepele bagi sebagian anggota DPR dan MPR sehingga tidak terlalu penting untuk diselesaikan?

Di sepanjang jalan di daerah manapun pasti akan ditemui anak jalanan yang bergerombol, berebutan rejeki, mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan sehari-sehari mereka yang semakin mendesak. Harga sembako dan pendidikanpun semakin mahal, sehingga keluarga para anak jalanan tak mampu membiayai pendidikan mereka. Akhirnya, generasi penerus bangsa itupun terpaksa berhenti sekolah dan rentan akan tindak criminal. Faktor ekonomi dan pendidikan merupakan alasan utama yang menjadikan mereka sebagai anak jalanan. Mengenyam pendidikan merupakan makanan yang tak sanggup mereka konsumsi lagi. Yang mereka pikirkan hanyalah memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka guna melangsungkan kehidupan. Mengenyangkan perut lebih penting daripada mengenyangkan otak mereka dengan teori-teori yang belum tentu teraplikasikan dalam hidup mereka, mungkin itulah pikiran anak jalanan ketika mereka memutuskan terjun dalam dunia jalanan.

Oleh karena itu, kami para penyusun observasi ini ditugaskan oleh panitia PRA-LKP2M untuk melaksanakan observasi mengenai anak jalanan dengan spesifikasi pengamen dan penjual Koran yang berada di perempatan ITN. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benak penyusun, sehingga akhirnya observasi inipun Bagaimana kehidupan anak jalanan (pengamen) dan penjual koran sehari-hari di perempatan ITN? Bagaimana pandangan para pengguna jalan raya dengan adanya anak jalanan (pengamen) dan penjual Koran di perempatan ITN? Apakah para pengguna jalan merasa terganggu dengan adanya anak jalanan (pengamen) dan penjual Koran di perempatan ITN ? Apakah selamanya mereka akan hidup di jalanan tanpa memikirkan masa depannya kelak? Bagaimana Negara yang besar dan kaya seprti Indonesia tidak dapat menyelesaikan masalah seperti ini? Siapakah yang harus disalahkan? Sistem ataukah manusianya?

Pada hari Selasa tanggal 25 Maret 2008, kelompok Duta Masyarakat yang beranggotakan Indah, Endahing, dan Musta’in telah melakukan observasi kecil terhadap anak jalanan (pengamen) dan penjual koran di perempatan ITN.

Tercatat ada kurang lebih sepuluh pengamen yang terdiri dari anak kecil, remaja, bahkan orang dewasa yang berasal dari kampung yang sama yaitu daerah Dinoyo. Anak kecil berumur antara 10-12 tahun, remaja berumur antara 16-18 tahun, dan orang dewasa berumur antara 21-40 tahun. Dominan para pengamen berjenis kelamin pria, sedangkan wanita hanya ada 2 orang yaitu anak kecil berumur kurang lebih 11 tahun, dan orang dewasa berumur kurang lebih 40 tahun.

Saat Indah dan Endahing melakukan wawancara, beberapa pertanyaan dilontarkan begitu saja tanpa direncanakan terlebih dahulu, namun tidak menyimpang dari tujuan utama observasi, dengan maksud agar anak jalanan tidak merasa canggung ketika memberikan keterangan atau jawaban yang sebenarnya.
Bambang berusia 16 tahun, salah satu anggota anak jalanan yang turut mengamen di perempatan ITN mengaku bahwa dia tidak sekolah lagi, dan kini berprofesi sebagai seorang pengamen bersama teman-temannya berasal dari kampung yang sama. Dia memutuskan menjadi seorang pengamen sejak tahun 2005 atas kemauan sendiri. Namun, menurut Endahing, kemungkinan tidak hanya kemauan sendiri melainkan juga diajak oleh teman sepermainan di kampungnya, dan juga faktor ekonomi yang semakin mendesak untuk terus melangsungkan kehidupan mereka. Selama ini, Bambang menikmati profesinya sebagai seorang anak jalanan, walaupun terkadang terbesit keinginan untuk berubah menjadi lebih baik dengan berganti profesi yang layak. Namun, sampai saat ini belum juga ada pihak yang mau menerimanya bekerja dengan alasan skill kurang mendukung. Dia juga masih ingin sekolah seperti anak-anak lain, namun apalah daya keluarganya tidak mampu membiayai sekolah Bambang lagi, sehingga membuat Bambang sekarang membantu perekonomian keluarga dengan jalan menjadi seorang pengamen.

Alek, seorang remaja yang beranjak dewasa berusia 17 tahun, juga mengalami nasib sama seperti Bambang. Tetapi, menurut keterangan dirinya dia masih sekolah kelas 3 di SMP Ma’arif. Entah keterangannya benar atau tidak hanya Allah dan dia yang tahu. Alek menjadi seorang pengamen sejak kecil. Alek memutuskan menjadi seorang pengamen hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Dia mengaku bahwa uang hasil mengamen yang didapatkan selain digunakan untuk makan, juga untuk membeli rokok. Ketika Endahing memberi pilihan, lebih memilih makanan atau rokok, mereka menjawab dengan kompak menjawab rokok menjadi pilihannya. Endahing berpikir, apakah mengamen hanya untuk merokok? Lalu bagaimana dengan kebutuhan pokok mereka sehari-hari, bahkan keluarga yang mereka bantu?

Agung, bocah remaja berusia 18 tahun, diantara kelompok pengamen dia merupakan salah satu yang lebih dewasa dibanding Bambang dan Alek. Cara penyampaian jawaban mencerminkan dia termasuk pengamen yang sopan, bahkan terlihat masih tersisik dibanding yang lain. Agung menjadi seorang anak jalanan sejak kecil, dengan alasan klise, karena faktor ekonomi. Kebutuhan sehari-hari yang terus menuntut untuk dipenuhi, maka akhirnya Agung terjun ke dunia anak jalanan. Dia tidak seklah, sama seprti Bambang. Menjadi anak jalanan bukanlah pilihannya, namun keadaan menuntut untuk menjadikan dirinya sebagai profesi yang dianggap negatif bagi beberapa kalangan masyarakat.

Bambang, Alek, dan Agung beserta anggota kelompoknya yang lain “mangkal” di perempatan ITN sejak pagi hingga malam. Mereka berangkat dan pulang bersama, karena berasal dari kampung yang sama. Pendapatan mengamen mereka tak menentu, tergantung hari dan waktu. Pendapatan mereka antara Rp.5000,00 hingga Rp.20.000 per hari. Menurut Agung, mereka mendapat uang lebih banyak pada hari Sabtu dan Minggu sore. Mereka tak hanya mendapatkan uang, tetapi juga ada yang memberi mereka rokok dan permen. Bagi Bambang, Alek, dan Agung ketika diberi rokok, mereka menerimanya, lain lagi dengan si kecil, dia menolak dengan berkata ,”Mpun, Pak! Mboten usah!”. Ternyata si kecil lebih memilih uang daripada rokok. Bagi pengamen kecil menggunakan alat ecrek-ecrek bila mengamen, sedangkan bagi pengamen remaja menggunakan gitar kecil atau biasa disebut dengan kompreng. Agung mengaku bahwa gitar kecil itu didapatkan dari Bambang membelinya dengan harga Rp.40.000,00. Uang untuk membeli gitar kecil itu berasal dari jerih payah mereka. Banyak suka dan duka yang mereka alami selama menjadi seorang anak jalanan. Sukanya, karena mereka selain bisa mencari uang sendiri, mereka bisa mengenal pengamen dari daerah lain. Dukanya, terkadang mereka harus berurusan dengan pihak berwajib, siapa lagi kalau bukan polisi dan pamong praja yang bertugas untuk menertibkan kawasan umum dari anak jalanan. Mereka tidak mengetahui kapan pamong praja datang dan siap untuk menjaring siapapun yang merusak pemandangan kawasan yang ditertibkan tersebut. Ketika pamong praja datang, mereka berlari untuk bersembunyi. Apabila pamong praja atau polisi terus mengitari daerah mereka “mangkal”, maka para pengamen memutuskan pulang, tetapi sebaliknya, mereka kembali “mangkal” dean melanjutkan untuk mengamen. Kejadian seperti itu telah menjadi makanan sehari-hari bagi para pengamen di perempatan ITN. Tak jarang mereka tidak beruntung, saat pamong praja melakukan penertiban, ada juga pengamen yang tertangkap. Menurut keterangan Alek dan Agung, ketika tertangkap dan dibawa ke kantor, tak pelak pukulan para pihak berwajib menghujani tubuh mungil mereka yang bukan merupakan lawan yang imbang. Endahing berpikir, apakah itu cerminan dunia hukum di negara kita? Apakah dengan memukul anak jalanan dapat menyelesaikan masalah? Apakah dengan pukulan dapat menjerakan para pengamen? Ternyata tidak, ketika mereka dibebaskan dengan tebusan yang tak murah menurut Agung antara Rp.300.000,00-Rp.500.000,00 oleh seseorang mungkin tetangga mereka atau “kepala jaringan anak jalanan”, mereka tetap mengamen seperti biasanya. Beberapa waktu lalu disiarkan di salah satu program berita televisi swasta, episode saat itu membahas tentang jaringan anak jalanan yang dijadikan sebagai copet dimana itu merupakan profesi lain selain menjadi pengamen. Jadi, anak jalanan selain mengamen, ada oknum menawari pekerjaan lain pada anak jalanan. Oknum tersebut terus mempengaruhi si anak untuk bergabung dalam jaringan anak untuk mencopet. Sebagian besar, anak jalanan terpengaruh dengan bujuk rayu, dan akhirnya bergabunglah mereka dalam suatu wadah yang telah terorganisir yaitu pencopetan. Dominan alasan anak jalanan menerima tawaran oknum tersebut, selain karena desakan kebutuhan semakin bertambah, tetapi juga bergabung dengan organisasi tersebut hidup mereka terjamin, segala kebutuhan hidup mereka dipenuhi, apabila tertangkap saat melakukan operasi maka bos mereka akan menebus hingga mereka bebas kembali. Sebagai awal untuk menjadi seorang pencopet handal ialah seminggu sebelumnya anak jalanan tersebut diajari cara mencopet yaitu mengambil kuning telur dalam minyak atau air. Jika sudah mampu, maka mereka akan dilepas untuk praktek langsung. Sasaran meeka rata-rata para ibu dan anak muda yang lengah menjaga barang berharga mereka. Barang berharga yang biasa diambil kebanyakan telepon genggam, dompet atau perhiasan lain. 

Karena, acara tersebut salah satu penulis sempat curiga, apakah anak-anak jalanan yang berada di perempatan ITN telah teroganisir sebelumnya ataukah tidak, apalagi mereka berasal ari kampung yang sama. Terutama saat mereka tertangkap oleh pihak berwajib, mereka ditebus dengan harga yang terglong tinggi bagi masyarakat tidak mampu seperti mereka. Saat ditanya oleh Endahing mengenai siapa yang menebus mereka saat tertangkap, terlihat bahwa mereka menutupi sesuatu dengan melontarkan jawaban kurang logis.
Tidak selamanya anak jalanan tercerminkan negatif. Agung mengungkapkan bahwa 1,5 bulan yang lalu di pertengahan Januari, dia mengikuti Lomba Cipta Lagu Anak Jalanan yang diadakan salah satu LSM yang bertindak di bidang kekerasan anak, dia memenangkan juara tiga se-Malang Raya. Ini patut diacungi jempol, karena walaupun mereka menjadi anak jalanan, mereka masih bisa berprestasi. Alangkah baiknya, ketika pemerintah menaungi mereka dengan mengasah potensi terpendam anak jalanan, tetapi pemerintah lebih sibuk mengurusi urusan intern yang lebih menguntungkan golongannya sendiri. Karena penulis ingin tahu lebih banyak, maka penulis mengajukan pertanyaan. Siapakah yang membiayai pendaftaran saat lomba itu? Agungpun menjawab bahwa piha RW membiayai pendaftaran kompetisi cipta lagu anak jalanan tersebut. Bila menilik ke pihak pemerintah (Rukun Warga),berarti mereka telah mengetahui bahwa ada warganya yang tidak mampu dan terpaksa menjadi anak jalanan. Jika seperti itu, sebagai ketua RW yang bijak, mengapa anak-anak tersebut tidak dicarikan beasiswa guna melanjutkan pendidikan mereka? Daripada mereka terus mengamen di jalanan yang belum tentu membuat pengguna jalan merasa aman dan nyaman dengan adanya anak jalanan di tengah-tengah perjalanan mereka. Mengapa pihak pemerintah di kampung malah mendukung mereka menjadi anak jalanan dengan cara seperti tadi? Walaupun cara mendukungnya itu tidak transparan atau secara tidak langsung.
Dilema kehidupan tidak hanya dialami oleh anak jalanan atau pengamen, tetapi juga penjual koran. Pada saat observasi dilakukan ada dua penjual koran, seorang pemuda dan pria parobaya. Dua penjual koran tersebut hampir sama nasibnya seperti para pengamen yang ada di perempatan ITN. Mereka sama-sama kesulitan ekonomi, dan harus memenuhi kebutuhan mereka. Mereka bekerja untuk mencari sesuap nasi. Perbedaannya dari cara kerja dan profesi mereka saja. Pengamen dan penjual koran. Bagi sebagian masyarakat, profesi sebagai penjual koran lebih baik daripada pengamen. Padahal menurut penulis sama saja, pengamen menjual suara termasuk dalam bidang seni, sedangkan penjual koran menjual barang dagangan secara fisik. Memang kelihatannya masih lebih beradab penjual koran.
Para penjual koran itu “mangkal” untuk menjajakan barang dagangan sejak pagi sampai sore, menunggu barang dagangannya habis atau tingal sedikit hingga tak membuat mereka rugi banyak. Mereka menjajakan korannya ketika lampu merah menyala di perempatan itu. Peluh membajiri raut wajah coklat tua mereka, menandakan mereka tak menyerah untuk mencari nafkah demi keluarga di rumah, demi anak-anak mereka yang setia menunggu untuk mendapatkan uang jaja, istri mereka yang setia untuk menerima hasil penjualan koran dan api komporpun dapat dinyalakan lagi. Miris ketika penulis mendengar liku hidup mereka yang begitu rumit. Benar-benar perjuangan yang perlu dihargai dan dapat menjadi teladan bagi para akademisi atau kalangan lain.
Seorang pemuda salah satupenjual koran mengaku bahwa ia memiliki seorang ayah yang bekerja sebagai satpam di Universitas Islam Negeri Malang dimana merupakan kampus tempat penulis memuaskan otak dan pemikiran mereka guna menyabet sebuah gelar yang dapat diakui di masyarakat, tak diremehkan seperti anak jalanan dan penjual koran. Pemuda itu berulangkali melamar kerja di UIN Malang sebagai cleaning service, tapi takdir berkata lain hingga keberuntungan belum memihak padanya, berulangkali pula pemuda itu masih belum diterima sebagai cleaning service di universitas yang terkenal dengan motto ulul albabnya ini dan sebutan sebagai bilingual university. Setiap harinya, penjual koran mendapatkan hasil yang pas-pasan bahkan pernah rugi, karena koran yang terjual hanyasedikit sehingga mereka tak dapat balik modal. Tapi mereka tak pernah menyerah. Pernah ada pikiran untuk berubah. Hanya saja belum ada kesempatan bagi mereka, ataukah belum ada pihak yang bersedia untuk mereka dan memberikan perubahan berarti bagi para penjual koran itu. Semua orang pasti memiliki mimpi, hanya kemauan, usaha, dan kesempatan sebagai modal guna mewujudkan mimpi-mimpi tersebut agar menjadi kenyataan.
Setelah mengetahui sebagian hidup para pengamen dan penjual koran, beralih pada para pengguna jalan. Karena, pengguna jalan masih kesatuan dalam hubungan antara pengamen dan penjual koran. Apabila tidak ada pengguna jalan, maka pengamen dan penjual koran tidak dapat bertransaksi satu sama lain. Pengamen tidak akan bisa menjual suaranya dan mendapat upah dari pengguna jalan, dan penjual koran tak dapat menjual koran dan mendapatkan pembeli jika tak ada pengguna jalan. Pengguna jalan merupakan komoditas atau sasaran utama para pengamen dan penjual koran, karena pengguna jalan merupakan ladang mencari rejeki bagi pengamen dan penjual koran.
Secara empiris, memang demikian adanya. Pengguna jalan, penjual koran, dan pengamen adalah suatu ikatan atom yang tak dapat dipisahkan lagi, mereka memiliki hubungan emosional dan keterkaitan satu sama lain. Jika diibaratkan seperti suami istri, maka mereka ialah pasangan sejati. Ketiganya dapat memunculkan simbiosis mutualisme. Tapi, apakah simbiosis mutualisme itu selamanya ada diantara ketiganya? Bagaimana jika salah satu darinya merasa tidak nyaman, mungkin pertanyaan itu lebih cocok ditujukan bagi para pengguna jalan.
Perempatan ITN merupakan tempat strategis, jalannya selalu ramai dipenuhi kendaraan bermotor yang berlalu lalang dari pagi hingga pagi lagi. Di perempatan ITN tersebut dekat dengan berbagai pusat pendidikan, perbelanjaan, dan lain-lain yang tak akan pernah lengang oleh kendaraan bermotor. Pengguna jalan akan selalu lewat perempatan itu. Suasana perempatan itu juga enak dipandang, sehingga membuat para pengguna jalan merasa nyaman apabila melewati jalanan tersebut. Tapi, beberapa pengguna jalan merasa tidak nyaman atau terganggu ketika perempatan tersebut dijadikan sebagai tempat pengamen untuk mengamen, dan penjual koran. Mereka merasa terganggu saat lampu merah menyala sebagai tanda berhenti bagi pengguna jalan untuk bergantian memakai perempata, pada saat itulah pengamen mulai beraksi. Para pengamen menyanyikan lagu-lagu populer yang tak asing didengar lalu meminta bayaran, padahal pengguna jalan tersebut tidak meminta pengamen menghampirinya lalu menyanyi di depan dan meminta upah atas nyanyian pengamen. Tak jarang para pengamen merasa tidak tega dan akhirnya terpaksa memberi pengamen upah walaupun uang receh. Seperti yang diungkapkan Wahyu, mahasiswa jurusan Teknologi Pangan Universitas Brawijaya (UB) Malang semester 8 yang berdomisili di jalan Bandung, salah satu pengguna jalan di perempatan ITN mengaku bahwa merasa terganggu karena bisa saja para pengamen itu mencopet atau melakukan tindak kriminal terhadap dirinya, apalagi ia menggunakan sepeda motor yang rentan akan tindak kriminal. Wahyu ragu akan mengeluarkan dompetnya untuk memberi uang receh pada pengamen karena dengan alasan yang tadi, selain itu dengan adanya pengamen dan anak jalanan lainnya merusak pemandangan daerah tersebut sehingga tidak sedap dipandang mata. Lain lagi dengan pendapat Uswatun Hasanah, salah satu mahasiswi jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) semester 2 di Universitas Islam Negeri Malang. Dia mengungkapkan bahwa dia merasa biasa saja dengan adanya para pengamen dan penjual koran. Dia tidak merasa terganggu apabila mereka tidak mengancam keamanan dan kenyamanan dirinya, namun dia pernah merasa terganggu apabila saat ada pengamen dia tidak memiliki uang kecil untuk diberikan pada pengamen itu. Uswatun merasa akan dianggap pelit oleh pengamen tersebut, apalagi dia berjilbab dimana merupakan cerminan agamanya. Sama halnya dengan Nailul Amani Al-Misriyah yang akrab dipanggil Nelly, mahasiswi semester 2 jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri Malang, dia juga mengungkapkan bahwa dia akan merasa terganggu dengan adanya para pengamen jika dia tak punya uang receh untuk diberikan pada pengamen tersebut.
Pada intinya, pengguna jalan tidak akan merasa terganggu akan kehadiran para pengamen jika tak mengancam keamanan dan kenyamanan diri mereka, dan mereka mampu memberikan uang receh sebagai bentuk upah atas nyanyian para pengamen.
Hari semakin sore, jam menunjukkan pukul 17.00 WIB. Kesibukan di perempatan ITN itu tetaplah ramai bahkan semaki memenuhi jalan, karena saat itu jam pulang kerja atau orang mengunjungi mall dekat perempatan itu yaitu Malang Town Square (MATOS). Akhirnya para penulis memutuskan kembali ke aktivitas mereka seperti biasa. Endahing meminta Agung, salah satu pengamen untk menyanyikan salah satu lagu yang biasa dimainkan saat mengamen. Sebagian lirik menarik Endahing, yaitu di reff-nya.”….ataukah sistemnya yang salah? Ini salah siapa?”, lagu itu berjudul Ini Salah Siapa?, lagu itu didapat dari selebaran-selebaran lagu baru bagi para pengamen. Selebaran itu disebarkan dari pengamen satu ke pengamen lain. Mereka belajar not lagu juga dari teman pengamen yang lain. Dari secuil lirik lagu tersebut semoga menjadi cambuk bagi pemerintah untuk terus memperbaiki sistem yang berlaku di negara ini, tanpa ada penyelewengan hukum lagi. Semua butuh waktu dan proses, serta bantuan dari semua pihak Anak jalanan, pengamen, penjual koran, bahkan para pengguna jalan terus menanti matahari kesejahteraan terbit. (artikelku jaman 2008)

Kamis, 07 Maret 2013

PENANGANAN PERMASALAHAN PSIKOLOGIS DI LEMBAGA PERMASYARAKATAN WANITA KELAS II A SUKUN - MALANG (Psikodiagnostik III)








HASIL WAWANCARA
            Wawancara ini dilaksanakan pada proses pelaksanaan studi lapangan di Lembaga Permasyarakat Wanita Kelas IIA Sukun, Malang, tepatnya di aula serbaguna di samping pewawancara lain. Interviewer terdiri atas menggunakan inisial A dan E dengan narasumber salah satu narapidana Lapas Wanita yang bertempat di Blok IV kamar 1 yaitu B (inisial ibu Beng) yang berusia 42 tahun. Berikut proses wawancara kami:
A    : Assalaamu’alaikum, ibu. (sembari bersalaman dengan B, disusul E menyalami B). Saya Azizah, dan ini teman saya Enda ingin meminta waktu ibu sebentar guna wawancara. Kami harap ibu berkenan kami wawancarai.
B    : Iya, nggak apa-apa, mbak. (tersenyum)
E     : Sebelumnya maaf, bu. Apabila kami menggangu aktivitas ibu. Bisa dimulai ?
B    : (mengangguk)
A    : Siapa nama ibu? Dan berusia berapa sekarang ?
B    : Nama saya Beng, mbak. Umur saya sudah 42 tahun.
E     : Ibu berasal darimana?
B    : Saya asli Pemalang, Jawa Tengah.
A    : Ibu sudah berapa lama di sini?
B    : Sudah setahun tiga hari, mbak. Jadi saya ninggal anak saya yang di Pemalang, mbak. Saya khawatir sekali dengan anak-anak saya.
E     : Oh, putra putri ibu ada berapa?
B    : Anak saya empat, mbak. 3 laki-laki, 1 perempuan. Masih kecil-kecil, mbak. Yang paling besar berumur 12 tahun, dan yang paling kecil umurnya 2 tahun.
A    : Berarti anak-anak sekarang tinggal sama bapak?
B    : Nggak, mbak. Mereka tinggal sendiri, paling ada saudara saya yang menemani sesekali. Suami saya sudah meninggal 3 sebelum saya di penjara.
A    : Meninggal karena apa?
B    : kecelakaan pas ikut proyek di Jakarta.
E     : Bagaimana ceritanya ibu bisa sampai di sini?
B    : Ceritanya panjang, mbak. (menahan tangis). Dulu saya pas ke Jakarta selang suami saya meninggal, waktu itu saya kenalan sama seorang laki-laki namanya Karyo di Grogol, pas dalam perjalanan pulang ke Pemalang. Karyo dari Kalong (Pekalongan). Dia tanya alamat rumah saya, saya tanya kenapa? Kata Karyo, ya nanti mungkin dia mau main ke rumah. Saya kasih alamat rumah saya di Pemalang, mbak. Dua minggu kemudian, Karyo datang, dia bilang mau cari pembantu. Kebetulan tetangga saya perempuan yang sudah bersuami, hanya saja dia nggak suka sama suaminya dan berniat pergi dari rumah, mendengar kalau ada orang mau cari pembantu. Dia datang ke rumah dan tanya ke saya, “Mbak Beng, katanya ada orang mau cari pembantu ya? Saya ikut, mbak Beng. Saya ingin kerja.”. kebetulan Karyo ada di situ, dan perempuan itu ikut Karyo ke Surabaya. Beberapa lama kemudian, ada polisi datang ke rumah saya. Awalnya tanya orang yang namanya Karyo, ya saya cerita apa adanya, mbak. Polisi cerita kalau tetangga saya dijual jadi pelacur di Surabaya, tepatnya di Dolly. Dulu saya nggak tahu Dolly itu apa. Ternyata tempat pelacuran resmi di sana. Tetangga saya sempat melayani beberapa pelanggan, hanya saja dia nggak dibayar sama germonya. Lalu, tetangga saya lapor ke polisi. Akhirnya saya yang ditangkap, mbak. Sebagai ganti karena Karyo kabur, dan belum ditemukan polisi. Kata polisis di Pekalongan, Karyo sering ditahan di sana. Sebenarnya Karyo yang dipenjara, mbak. Saya hanya dijebak, tetapi saya terpaksa dipenjara dengan alasan penipuan.
A    : Lalu, bagaimana dengan anak-anak ibu waktu itu?
B    : Waktu itu saya baru menyusui, mbak. Ya terpaksa saya tinggal. Di kampusng saya nggak ada orang yang pernah ditahan, hanya saya saja, itu pun di jebak. Para tetangga ya kaget semua, mbak. Karena, mendengar saya dipenjara. Sebelum sampai di Malang, saya dibawa ke Surabaya dulu, mbak. Saya ditahan di Medaeng tiga bulan, sambil nunggu proses pengadilan.
E     : Ibu divonis berapa tahun?
B    : Saya divonis 4 tahun penjara, mbak. Saya kaget, lha saya tiba-tiba diberitahu kalau hukuman saya 4 tahun, padahal saya nggak ikut persidangan waktu itu, sempat sesekali saja. Selama persidangan tetangga saya sudah bela saya, mbak. Tapi, mau gimana lagi. Saya harus gantiin si Karyo. Tapi, kata petugas Lapas hukuman saya dipotong 2 tahun, dapat remisi dari pemerintah pas Lebaran kemarin. Tapi ya gitu, mbak. Saya harus mengikuti mas percobaan dulu di penjara. Setelah divonis, saya langsung dibawa ke sini, mbak. (mengusap pipi, karena menangis)
A    : Bagaimana perasaan ibu selama di sini (Lapas) ?
B    : Ya, nggak kerasan, mbak. Saya mikirin anak saya terus, rasanya saya mau mati saja. Saya mikir anak saya kalau nggak da saya bagaimana, bisa makan apa nggak. Sya stres banget, mbak.
E     : kegiatan ibu di sini ngapain aja?
B    : di sini ada programnya, mbak. Ada piket. Jadi pagi itu menyapu dan beres-beres. Kalau sore sya jarang nonton tivi, mbak. Karena saya kerja di kebun, saya menanam puhung, ketela, kalau sudah panen, dipakai buat tambahan makanan di penjara. Ada kegiatan sholat berjama’ah, wajib ikut sholat Dhuhur dan Maghrib.terus pengajian,kalau saya di dalam sel terus ya tambah kepikiran anak saya. Kalau banyak kegiatan di sini kan enak, bisa nggak terlalu kepikiran anak-anak. Dibanding dengan dulu ya perasaan saya massih baikan sekarang, karena sibuk.
A    : Bagaimana dengan orang-orang di sini,bu? Teman-temannya maupun petugasnya?
B    : Semuanya baik kok, mbak. Petugasnya sering kasih masukan ke saya. Kalau teman-temannya juga akur. Malah kita ada arisan mie instan, mbak. Jadi, siapa yang menang dapat mie banyak lalu kita bagi-bagi, dimakan bersama. Ketua bloknya juga baik, namanya mami Cindy, dia narapidana dari Surabaya kena kasus narkoba, dia orang Cina tapi sudah masuk Islam. Blok saya memang terkenal kompak dan mudah diatur. Nggak kayak blok lain yang susah diatur.
E     : Oh, begitu. Baik, ibu. Sekian dari wawancara kami. Terima kasih atas perhatian dan kesediaan ibu serta kerjasamanya selama proses wawancara berlangsung. Kami minta maaf apabila ada pertanyaa yang kurang berkenan di hati ibu.
B    : Sama-sama, mbak.
A&E    : menyalami B secara bergantian.

KESIMPULAN

Dari kajian teori dan hasil wawancara, disimpulkan bahwa Ibu Beng mengalami stres mendekati depresi, dikarenakan syok mendapat musibah, sehingga tertekan dengan keadaan yang ada. Terlebih lagi, ibu Beng harus meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil. Ibu Beng mengalami gangguan kecemasan yang lumayan tinggi. Apalagi, Ibu Beng dijebak oleh orang yang baru dikenalnya. Fenomena tersebut sudah dianggap biasa, karena pada dasarnya kehidupan di penjara tidak baik bagi kondisi psikologis individu.
Oleh sebab itu, Lapas menyusun dan melaksanakan program-program guna mengembalikan atau mengurangi kondisi psikologis para tahanan dan narapidana yang tidak baik kondisi psikisnya. Misalnya saja seperti kegiatan sholat berjama’ah, pengajian, sharing, bekerja sesuai dengan piket, mebuat kerajinan tangan dan memproduksi kecap yang bisa dijual untuk umum. Dengan kegitaan tersebutm setidaknya berakibat baik bagi kondisi psikologis para tahanan dan narapidananya. Sikap pegawai yang baik menunjang hubungan emosional yang baik antara pegawai dengan tahanan dan narapidana.

I.               Pengertian Wawancara
Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penyelidikan (Hadi, 1993).
Wawancara adalah perbincangan yang menjadi sarana untuk mendapatkan informasi tentang orang lain dengan tujuan penjelasan atau pemahaman tentang orang tersebut dalam hal tertentu.
II.               Alasan Menggunakan Wawancara
Beberapa situasi ketika alat ukur tidak dapat digunakan antara lain yaitu:
         subyek buta huruf.dan terlalu muda untuk merespon alat tes
         topik yang diukur bersifat pribadi, individual, rahasia.
         Situasi-situasi tersebut membutuhkan pendekatan yang lebih bersifat personal.
III.               Tujuan dan Fungsi Wawancara
1.   Pengukuran Psikologis
Data yang diperoleh dari wawancara akan diinterpretasi dalam rangka mendapat pemahaman tentang subyek dalam rangka melakukan diagnosis permasalahan subyek dan usaha mengatasi masalah tersebut.
2.   Pengumpulan Data Penelitian
a.    Pengumpulan Data Penelitian Kuantitatif
Informasi dikumpulkan  untuk mendapatkan penjelasan mengenai suatu fenomena. Data dikumpulkan dengan cara wawancara karena kuesioner atau alat ukur yang lain tidak dapat diterapkan pada subyek-subyek tertentu, atau ada kekhwatiran responden tidak mengisi atau kuesioner atau alat ukur yang lain atau responden tidak mengembalikannya kepada peneliti.
b.   Pengumpulan Data Kualitatif
Informasi yang diperoleh digunakan untuk mendapatkan pemehaman tentang suatu fenomena yang diteliti. Wawancara menjadi bagian dari penelitian survey ketika alat-alat ukur lain seperti kuesioner dianggap tidak mampu menangkap secara lebih mendalam informasi dari responden. Informasi bersifat kualitatif dan mendalam sehingga bersifat individual.
IV.               Kecakapan dalam Wawancara
1.         Persiapan dalam Wawancara
1)      Menjalin hubungan baik (rapport) dengan orang yang diwawancarai;
2)      Melatih kemahiran dan ketangkasan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan kecakapan memancing jawaban yang adequate;
3)      Menentukan subyek;
4)      Mengatur waktu dan tempat wawancara;
5)      Membuat guide interview atau pedoman wawancara;
6)      Try out preliminer;
7)      Checking terhadap kemampuan dan ketelitian jawaban.
2.         Strategi Wawancara
1)      Memantapkan Rapport;
2)      Menunjukkan Minat;
3)      Menangani Kecemasan;
4)      Mendorong Komunikasi.
3.         Faktor yang menghambat dan mendukung komunikasi dalam wawancara
v  Penghambat komunikasi
1)      Keperluan yang berkompetisi, pewawancara merasa tergesa-gesa karena ada keperluan lain;
2)      Etiket, orang yang diwawancara yakin bahwa suatu respon akan tidak dibenarkan;
3)      Trauma, orang yang diwawancara mengalami kembali sakit yang dirasakan ketika mengungkap persaan yang tidak menyenangkan berkaitan dengan pengalaman krisis;
4)      Melupakan, orang yang diwawancara tidak dapat mengingat beberapa informasi;
5)      Kekacauan kronologis, orang yang diwawancara mengalami kekacauan dengan urutan pengalamnnya;
6)      Kekacauan kesimpulan, orang yang diwawancara memberikan informasi yang tidak akurat dan membingungkan karena dia membuat kesimpulan yang salah;
7)      Perilaku tidak sadar, orang yang diwawancara tidak sadar akan perilaku yang tidak disadarinya.
v  Pendukung komunikasi
1)      Memenuhi harapan, orang yang diwawancara mencoba untuk konform dengan harapan pewawancara seperti yang dikomunikasikan secara verbal dan non verbal;
2)      Rekognisi, pewawancara mencoba untuk memberi  rekognisi yang tulus (penerimaan, pujian, penghargaan) ketika ada kesempatan yang tepat;
3)      Kebutuhan untuk dibimbing, kebutuhan untuk dibimbing akan memotivasinya untuk memberikan informasi;
4)      Pemahaman empatik, keinginan orang yang diwawncarai untuk dipahami dan didengarkan dengan simpatik akan mendukung wawancara, terutama ketika sikap empatik pewawancara diarahkan pada tujuan wawancara;
5)      Katarsis, kebutuhan orang yang diwawancara untuk katarsis (melepaskan diri dari ketegangan dengan cara menceritakan sumber ketegangan dan mengekspresikan perasaan) meningkatkan spontanitas wawancara ketika iklim penuh pemahaman yang empatik sudah terbentuk.
4.         Ketrampilan Wawancara
1)      Mendengarkan;
2)      Mengamati Suara dan Pembicaraan;
3)      Mengamati  Perilaku  Non Verbal;
Perilaku  non verbal
Kemungkinan makna
Kontak mata langsung
Kesiapan atau kesediaan untuk berkomunikasi interpersonal, perhatian
Menatap orang atau obyek terus menerus
Menantang, konfrontatif, cemas, kekakuan
Bibir terlipat
Stress, kemarahan, kekerasan, keras kepala
Menggeleng
Tidak setuju, tidak terima, tidak percaya
Duduk memutar badan dari pewawancara
Kesedihan, tidak berani, menolak diskusi
Gemetar, tangan nervous
Kecemasan, kemarahan
Mengetuk-ketukkan kaki
Ketidaksabaran, kecemasan
Berbisik
Kesulitan menceritakan topik

    V.            Aspek-Aspek Penting pada Relasi Ibu-Anak
Masalah penting yang harus dihadapi wanita dalam melaksanakan fungsi reproduksi itu dimulai dengan kehlamilan dan kelahiran bayi sampai pada pemeliharaan anak. Tugas paling berat bagi ibu muda tersebut ialah menciptakan unitas atau kesatuan yang harmonis di antara diri sendiri dengan anaknya. Dengan kata lain, ibu tersebut harus mampu “memanunggalkan diri” atau mengidentifikasikan diri secara selaras dengan bayi dan anaknya.
Jika ibu tersebut mengabdikan diri sepenuhnya pada tugas-tugass pelanggengan jenis manusia saja, dan segenap aspek kehidupan jiwanya dipenuhi tugas-tugas memelihara spesies manusia secara ekslusif, maka pasti dia akan kehilangan individualitasnya.
Tugas-tugas keibuan untuk mengabdi pada proses pelestarian spesies itu berlangsung sejajar dengan usia serta perkembangan anaknya. Misalnya saja, semua kegiatan ibu pada periode pertama dan bayinya akan terpusat pada pemeliharaan jasmani bayinya, khususnya pada kegiatan menyusui. Pada saat tersebut, dorongan untuk mempertahankan unitas dengan bayinya ternyata sangat kuat, dan usaha untuk melindungi bayinya mencapai titik kulminasi. Sebab ketidakberdayaan anaknya justru mengundang satu appel terhadap ibunya, dan memperkuat unitas ibu anak selama periode menyusui ini.
Tugas selanjutnya dari ibu ialah : mendidik anaknya. Sebab di samping pemeliharaan fisik, kini ia harus melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan psikis anaknya, agar anak mampu mengendalikan instink-instinknya, untuk bisa menjadi manusia beradab. Sebab, jika si anak terlalu dibiarkan lepas bebas serta dikuasai oleh dorongan-dorongan instinktifnya yang primitif, maka ia bisa menjadi liar, tidak terkendali, dan tidak disiplin.
Sekarang dapat dimengerti, bahwa segala macam kesulitan pada pribadi anak itu pada hakekatnya bersumber pada kesulitan orangtuanya, khususnya kesulitan ibunya. Sehubungan hal ini, wawasan jernih mengenai proses-proses psikologis dari ibu-ibu muda itu menjadi bagian paling penting dalam pedagogik (ilmu mendidik) modern pada zaman sekarang. Sebabnya ialah ibu-ibu itu mempunyai relasi dan pengaruh langsung kepada anaknya.