Latar Belakang
Saat ini penerapan disiplin ilmu Psikologi di masyarakat semakin
berkembang pesat, ini terbukti dengan adanya semakin marak diadakan
seminar-seminar, pelatihan (training), workshop, talkshow hingga personality
school yang berhubungan Psikologi. Nama-nama Psikolog Indonesia pun semakin
banyak dikenal masyarakat di media massa yang mana dalam pencerminan
kepribadian mereka saat di depan televisi, atau foto di koran atau majalah atau
tabloid, mereka berwajah wise (bijak), tenang, dan santun. Ataupun
ilmuwan psikologi atau psikolog yang mendirikan organisasi pelatihan seperti
ESQ juga semakin dikenal dan selalu dinantikan even mereka. Ini merupakan salah
satu bentuk dari karakter umum yang dicerminkan oleh Psikolog maupun ilmuwan
psikologi yang mana jelas berbeda dengan cerminan kepribadian pada profesi
lain, seperti TNI yang berwajah tegas, dokter yang berwajah “menyeramkan” bagi
sebagian orang, dan profesi lainnya.
Yang menjadi pertanyaan ialah, bagaimana setiap profesi itu berbeda dalam
berlaku dan berkepribadian. Jelas ini bukan semata-mata cerminan dari
kepribadian interpersonalnya, akan tetapi dipengaruhi dengan didikan disiplin
ilmu yang mereka tekuni, yang mana memiliki standarisasi tertentu dalam
bersikap dan bermartabat.
Berdasarkan pemaparan di atas merupakan latar belakang dari makalah ini
disusun dengan tema kode etik merupakan instrumen pembentukan karakter bagi
psikolog dan ilmuwan psikolog tentu, dalam penjelasan di dalam makalah ini
diuraikan berdasarkan pasal-pasal kode etik psikologi yang mendasari.
Studi Kasus
Friday, October 06, 2006
PSIKOLOGI DAN LINGKARAN KEKUASAAN [1]:
Pengategorian Status Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
Oleh: Audifax[1]
Di Indonesia, ranah psikologi tampaknya dibedakan bagi dua
jenis mahluk, yaitu Ilmuwan Psikologi dan Psikolog. Pembagian ini, seolah
menyiratkan kasta kemampuan. Lantas menjadi tidak relevan ketika kasta itu
dikaitkan dengan praktikalitas yang diistilahkan sebagai praktik psikologi,
karena ketika dirunut pada aturannya, pembagian itu sama sekali tak mengarakterisasi,
apalagi mencerminkan perbedaan kualitas kemampuan. Ada sesuatu yang luput dari
cermatan di sini, bahwa di tengah percepatan perkembangan dunia beserta kultur
di masyarakat, segala bentuk hirarki, sentralisasi, kategori justru akan
mematikan. Diakui atau tidak, saat ini masyarakat justru secara radikal
melepaskan diri dari keterpusatan dan menyebar, mengindividu, mendiferensiasi.
Jika dulu konsumsi cenderung mass consumption dan oleh karenanya menjadi masuk
akal mass production (yang memungkin adanya hirarki, sentralisasi, kategori)
saat ini pemasaran justru masuk ke ceruk-ceruk pasar (niche). Inilah yang
agaknya tak tertangkap oleh siapapun yang mengategorikan Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog.
Agar lebih jelas, pada awal analisis akan saya paparkan
terlebih dahulu kutipan dari buku kode etik psikologi Indonesia berkaitan
dengan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog. Setidaknya ada tiga pasal penting
berkaitan dengan pembedaan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog.
ILMUWAN PSIKOLOGI adalah para lulusan perguruan tinggi dan
universitas di dalam maupun di luar negeri, yaitu mereka yang telah mengikuti
pendidikan dengan kurikulum nasional (SK Mendikbud No. 18/D/O/1993) untuk
pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi); lulusan pendidikan tinggi
strata 2 (S2) dan strata 3 (S3) dalam bidang psikologi, yang pendidikan strata
(S1) diperoleh bukan dari fakultas psikologi. Ilmuwan Psikologi yang tergolong
kriteria tersebut dinyatakan DAPAT MEMBERIKAN JASA PSIKOLOGI TETAPI TIDAK
BERHAK DAN TIDAK BERWENANG UNTUK MELAKUKAN PRAKTIK PSIKOLOGI DI INDONESIA[2].
PSIKOLOG adalah Sarjana Psikologi yang telah mengikuti
pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dengan kurikulum lama (Sistem Paket
Murni) Perguruan Tinggi Negeri (PTN); atau Sistem Kredit Semester (SKS) PTN;
atau Kurikulum Nasional (SK Mendikbud No. 18/D/O/1993) yang meliputi pendidikan
program akademik (Sarjana Psikologi) dan program pendidikan profesi (Psikolog);
atau kurikulum lama Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang sudah mengikuti ujian
negara sarjana psikologi; atau pendidikan tinggi psikologi di luar negeri yang
sudah mendapat akreditasi dan disetarakan dengan psikolog Indonesia oleh
Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas
RI). Sarjana Psikologi dengan kriteria tersebut dinyatakan BERHAK DAN BERWENANG
untuk melakukan PRAKTIK PSIKOLOGI di wilayah hukum Negara Republik Indonesia.
Sarjana Psikologi menurut kriteria ini juga dikenal dan disebut sebagai
PSIKOLOG. Untuk melakukan praktik psikologi maka Sarjana Psikologi yang
tergolong kriteria ini DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai
ketentuan yang berlaku[3].
PRAKTIK PSIKOLOGI adalah kegiatan yang dilakukan oleh psikolog dalam memberikan jasa dan praktik kepada masyarakat dalam pemecahan masalah psikologis yang bersifat individual maupun kelompok dengan menerapkan prinsip psikodiagnostik. Termasuk dalam pengertian praktik psikologi tersebut adalah terapan prinsip psikologi yang berkaitan dengan melakukan kegiatan DIAGNOSIS, PROGNOSIS, KONSELING, dan PSIKOTERAPI[4].
Ada beberapa pertanyaan yang menurut saya mendasar pada pasal-pasal di atas, terutama berkaitan dengan pembagian “jatah” antara Ilmuwan Psikologi dan Psikolog (menarik juga ketika ilmu itu dikastakan, saya kok tidak melihat pembagian itu pada bidang kedokteran, menjadi ilmuwan kedokteran dan dokter misalnya). Menjadi pertanyaan pula lantas apa gunanya kuliah psikologi empat tahun kalau masih dibatasi wewenangnya? Lalu apakah memang ada peningkatan kemampuan secara signifikan setelah mengikuti pelatihan diagnostik atau program profesi? Makin kacau lagi ketika program profesi psikologi digabung dengan S-2; bagaimana masalah profesi dan mastery bisa dicampuradukkan?
Dalam analisis saya, pembagian tersebut lebih merupakan upaya memapankan kelompok tertentu karena sebenarnya tidak terlihat alur logika bahwa psikolog lebih tinggi kemampuannya dibanding ilmuwan psikologi sehingga patut diberi wewenang lebih. Bagaimana misalnya peraturan itu bisa menjelaskan kompetensi ‘ilmuwan psikologi’ seperti Andrias Harefa yang dalam training-training dan tulisan-tulisannya, sangat dekat dengan psikologi pendidikan dan industri/organisasi; Frans Mardi Hartanto, yang tidak bisa masuk Himpsi (karena S-1 nya Teknik) tapi justru diakui di asosiasi psikologi luar negeri seperti APA (American Psychological Association); atau Goenawan Muhammad dengan tulisan dan analisisnya yang tajam; bagaimana pula dengan tayangan-tayangan interaktif seperti Dunia Lain, Pemburu Hantu dan sejenisnya? Bahkan seorang Deddy Corbuz! ier atau Romy Rafael pun menunjukkan tingkat kepiawaian yang luar biasa dalam bidang psikologi. Bukankah apa yang mereka lakukan juga mengandung unsur diagnosis, prognosis, konseling dan psikoterapi[5]? Apakah peraturan dalam Kode Etik Psikologi itu lantas bisa melegitimasi dan menempatkan para psikolog pada posisi yang lebih dari nama-nama di atas? Apakah peraturan itu l! antas bisa menafikkan begitu saja kenyataan bahwa para “klien” benar-benar merasakan manfaat dari nama-nama itu? (bahkan maaf, mungkin para klien inipun lebih percaya pada nama-nama itu dibanding psikolog bersertifikat yang baru saja lulus program profesi dan belum pernah menangani kasus riil satupun)…..
© Audifax – 10 Juni 2005
Landasan
Masalah
Dari pemaparan latar belakang dan
kasus di atas ada beberapa identifikasi masalah yang ada, pertama, standarisasi
bagi para psikolog dan ilmuwan psikolog dalam bersikap terutama pada klien,
kedua, mengapa harus ada karakter khusus bagi para psikolog dan ilmuwan
psikologi?.
Ketiga,
ada pihak yang menganalisia bahwa ada diskriminasi antara profesi dengan
sebutan ilmuwan psikologi dan psikolog yang mana lebih mendeskreditkan atau
mendeskriminasikan ilmuwan psikolog dengan terbuktinya salah satu ilmuwan
psikologi yang tidak bisa masuk ke HIMPSI karena Strata 1 bukanlah lulusan S1
Psikologi, yang menjadi permasalahan ialah bagaimana p-aradigma itu bisa
terbentuk dan bagaimana cara menghilangkan statement seperti itu, memang
susah, tetapi apa salahnya untuk dicoba dalam bab pembahasan. Dan keempat,
bagaimana membangun karakter para psikolog dan ilmuwan psikologi itu, dan
adakah landasan sebagai rujukan itu semua.
Rujukan
Berdasarkan Kode Etik
Rujukan yang diambil dari
pasal-pasal Kode Etik Psikologi yang berhubungan dengan pembentukan pembangunan
watak atau karakter Psikolog dan Ilmuwan Psikologi, diantaranya:
MUKADIMAH
Berdasarkan kesadaran diri atas nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945, Ilmuwan Psikologi menghormati harkat dan martabat manusia serta menjunjung tinggi terpeliharanya hak-hak asasi manusia. Dalam kegiatannya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog Indonesia mengabdikan dirinya untuk meningkatkan pengetahuan tentang perilaku manusia dalam bentuk pemahaman bagi dirinya dan pihak lain serta memanfaatkan pengetahuan pengetahuan dan kemampuan tersebut bagi kesejahteraan manusia.
Kesadaran tersebut merupakan dasar bagi Ilmuwan Psikologi dan Psikolog Indonesia untuk selalu berupaya melindungi kesejahteraan mereka yang meminta jasa/praktek beserta semua pihak yang terkait dalam jasa/praktek tersebut atau pihak yang menjadi obyek studinya. Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki hanya digunakan untuk tujuan yang taat asas berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945 serta nilai-nilai kemanusiaan pada umumnya dan mencegah penyalahgunaan oleh pihak lain.
Tuntutan kebebasan menyelidiki dan berkomunikasi dalam melaksanakan kegiatannya di bidang penelitian, pengajaran, pelatihan, jasa/praktek konsultasi dan publikasi dipahami oleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dengan penuh tanggung jawab. Kompetensi dan obyektivitas dalam menerapkan kemampuan profesional terikat dan sangat memperhatikan pemakai jasa, rekan sejawat dan masyarakat pada umumnya.
Pokok-pokok pikiran tersebut dirumuskan dalam KODE ETIK PSIKOLOGI INDONESIA sebagai perangkat nilai-nilai untuk ditaati dan dijalankan dengan sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatan selaku Ilmuwan Psikologi dan Psikolog di Indonesia.
BAB
I
PEDOMAN
UMUM
Pasal 1
Pasal 1
PENGERTIAN
a)
ILMUWAN PSIKOLOGI adalah para lulusan perguruan tinggi
dan universitas di dalam maupun di luar negeri, yaitu mereka yang telah
mengikuti pendidikan dengan kurikulum nasional (SK Mendikbud No. 18/D/O/1993)
untuk pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi); lulusan pendidikan tinggi
strata 2 (S2) dan strata 3 (S3) dalam bidang psikologi, yang pendidikan strata
1 (S1) diperoleh bukan dari fakultas psikologi. Ilmuwan Psikologi yang
tergolong kreteria tersebut dinyatakan DAPAT MEMBERIKAN JASA PSIKOLOGI TETAPI
TIDAK BERHAK DAN TIDAK BERWENANG UNTUK MELAKUKAN PRAKTEK PSIKOLOGI DI
INDONESIA.
b) PSIKOLOG adalah Sarjana Psikologi yang telah mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dengan kurikulum lama (Sistem Paket Murni) Perguruan Tinggi Negeri (PTN); atau Sistem Kredit Semester (SKS) PTN; atau Kurikulum Nasional (SK Mendikbud No. 18/D/0/1993) yang meliputi pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi) dan program pendidikan profesi (psikolog); atau kurikulum lama Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang sudah mengikuti ujian negara sarjana psikologi; atau pendidikan tinggi psikologi di luar negeri yang sudah mendapat akreditasi dan disetarakan dengan psikolog Indonesia oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud RI). Sarjana Psikologi dengan kriteria tersebut dinyatakan BERHAK DAN BERWENANG untuk melakukan PRAKTEK PSIKOLOGI di wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Sarjana Psikologi menurut kriteria ini juga dikenal dan disebut sebagai PSIKOLOG. Untuk melakukan praktek psikologi ini DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTEK PSIKOLOGI sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal
4
PERILAKU dan CITRA PROFESI
PERILAKU dan CITRA PROFESI
a) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menyadari bahwa dalam melaksanakan keahliannya wajib mempertimbangkan dan mengindahkan etika dan nilai-nilai moral yang berlaku dalam masyarakat.
b) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menyadari bahwa perilakunya dapat mempengaruhi citra Ilmuwan Psikologi dan Psikolog serta profesi psikologi.
BAB
II
HUBUNGAN PROFESIONAL
Pasal 5
HUBUNGAN ANTAR REKAN PROFESI
a) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghargai, menghormati dan menjaga hak-hak serta nama baik rekan profesinya, yaitu sejawat akademisi keilmuan Psikologi / Psikolog.
HUBUNGAN PROFESIONAL
Pasal 5
HUBUNGAN ANTAR REKAN PROFESI
a) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghargai, menghormati dan menjaga hak-hak serta nama baik rekan profesinya, yaitu sejawat akademisi keilmuan Psikologi / Psikolog.
b) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog seyogyanya saling memberikan umpan balik untuk peningkatan keahlian profesinya
c) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib mengingatkan rekan profesinya dalam rangka mencegah terjadinya pelanggaran kode etik psikologi.
d) Apabila terjadi pelanggaran kode etik psikologi yang di luar batas kompetensi dan kewenangan maka wajib melaporkan kepada organisasi profesi.
Pasal
6
HUBUNGAN DENGAN PROFESI LAIN
HUBUNGAN DENGAN PROFESI LAIN
a) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghargai, menghormati kompetensi dan kewenagngan rekan dari profesi lain.
b) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib mencegah dilakukannya pemberian jasa atau praktek psikologi oleh orang atau pihak yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan.
Pasal
7
PELAKSANAAN KEGIATAN SESUAI BATAS KEAHLIAN/KEWENANGAN
PELAKSANAAN KEGIATAN SESUAI BATAS KEAHLIAN/KEWENANGAN
a) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog hanya memberikan jasa/praktek psikologi dalam hubungannya dengan kompetensi yang bersifat obyektif sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam pengaturan terapan keahlian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog.
b) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dalam memberikan jasa/praktek psikologi wajib menghormati hak-hak lembaga/organisasi/institusi tempat melaksanakan kegiatan sejauh tidak bertentangan dengan kompetensi dan kewenangannya.
Pasal
8
SIKAP PROFESIONAL DAN PERLAKUKAN TERHADAP PEMAKAI JASA ATAU KLIEN
SIKAP PROFESIONAL DAN PERLAKUKAN TERHADAP PEMAKAI JASA ATAU KLIEN
Dalam memberikan jasa/praktek psikologi kepada pemakai jasa atau klien, baik yang bersifat perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi/institusi sesuai dengan keahlian dan kewenangannya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog berkewajiban untuk :
a) Mengutamakan dasar-dasar profesional.
b) Memberikan jasa/praktek kepada semua pihak yang membutuhkannya.
c) Melindungi klien atau pemakai jasa dari akibat yang merugikan sebagai dampak jasa/praktek yang diterimanya.
d) Mengutamakan ketidak berpihakan dalam kepentingan pemakai jasa atau klien dan pihak-pihak yang terkait dalam pemberian pelayanan tersebut.
e) Dalam hal pemakai jasa atau klien yang menghadapi kemungkinan akan terkena dampak negatif yang tidak dapat dihindari akibat pemberian jasa/praktek psikologi yang dilakukan oleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog maka pemakai jasa atau klien tersebut harus diberitahukan tentang kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Pasal
10
INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN
INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN
Interpretasi
hasil pemeriksaan psikologik tentang klien atau pemakai jasa psikologi hanya
boleh dilakukan oleh psikolog berdasarkan kompetensi dan kewenangan.
Pasal
12
KERAHASIAAN DATA DAN HASIL PEMERIKSAAN
KERAHASIAAN DATA DAN HASIL PEMERIKSAAN
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib memegang teguh rahasia yang menyangkut klien atau pemakai jasa psikologi dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatannya. Dalam hal ini keterangan atau data mengenai klien yang diperoleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dalam rangka pemberian jasa/praktek psikologi hendaknya mematuhi hal-hal sebagai berikut :
a) Dapat diberikan hanya kepada yang berwenang mengetahuinya dan hanya memuat hal-hal yang langsung dan berkaitan dengan tujuan pemberian jasa/praktek psikologi.
b) Dapat didiskusikan hanya dengan orang-orang atau pihak yang secara langsung berwenang atas diri klien atau pemakai jasa psikologi
c) Dapat dikomunikasikan dengan bijaksana secara lisan atau tertulis kepada pihak ketiga hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan klien, profesi dan akademisi. Dalam kondisi tersebut identitas orang atau klien yang bersangkutan tetap dirahasiakan.
d) Keterangan
atau data klien dapat diberitahukan kepada orang lain atas persetujuan klien
atau penasehat hukumnya.
e) Jika klien
masih kanak-kanak atau orang dewasa yang tidak mampu untuk memberikan
persetujuan secara sukarela, maka Psikolog wajib melindungi orang-orang ini
agar tidak mengalami hal-hal yang merugikan.
Pasal
13
PENCANTUMAN IDENTITAS
PADA LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN DARI PRAKTEK PSIKOLOGI
PENCANTUMAN IDENTITAS
PADA LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN DARI PRAKTEK PSIKOLOGI
Segala keterangan yang diperoleh dari kegiatan praktek psikologi sesuai keahlian yang dimilikinya, pada pembuatan laporan secara tertulis Psikolog yang bersangkutan wajib membubuhkan tanda tangan, nama jelas dan nomor izin praktek sebagai bukti pertanggung jawaban.
Pasal
15
PENGHARGAAN TERHADAP KARYA CIOTA PIHAK LAIN
DAN
PEMANFAATAN KARYA CIPTA PIHAK LAIN
PENGHARGAAN TERHADAP KARYA CIOTA PIHAK LAIN
DAN
PEMANFAATAN KARYA CIPTA PIHAK LAIN
a) Ilmuwan Psikologi dan Psikologi wajib menghargai karya cipta pihak lain sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku.
b) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak dibenarkan untuk mengutip, menyadur hasil karya orang lain tanpa mencantumkan sumbernya.
c) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak dibenarkan penggandakan, memodifikasi, memproduksi, menggunakan baik sebagian maupun seluruh karya orang lain tanpa mendapatkan izin dari pemegang hak cipta.
Pasal
16
PENGGUNAAN DAN PENGUASAAN SARANA PENGUKURAN PSIKOLOGIK
PENGGUNAAN DAN PENGUASAAN SARANA PENGUKURAN PSIKOLOGIK
a. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib membuat kesepakatan dengan lembaga/institusi/organisasi tempat bekerja mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah pengadaan, pemilikan, penggunaan, penguasaan sarana pengukuran. Ketentuan mengenai hal ini diatur tersendiri.
b. Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog wajib menjaga agar sarana pengukuran agar tidak
dipergunakan oleh orang-orang yang tidak berwenang dan yang tidak berkompeten.
Pembahasan
Sangat luas jika membahas
pembangunan karakter itu sendiri, karena banyak faktor yang mempengaruhi dan
membutuhkan waktu yang lama, tergantung dari individu yang menjalaninya. Hanya
saja dalam pembahasan ini dispesifikkan sampai pembangunan karakter pada
psikolog dan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog yang dilandaskan pada kode etik
psikologi yang berlaku saat ini.
Ditilik dari kasus yang ada pada bab
pertama yang intisarinya ialah mendeskriminasikan lulusan S1 non-Psikologi
dengan Psikolog yang terlalu meninggikan kedudukan Psikolog diantara profesi
sejawat yaitu Ilmuwan Psikologi, yang mana Kode Etik Psikologi yang seharusnya
menjadi nilai-nilai bagi Psikolog dan Ilmuwan Psikologi malah menjadikan ajang
diskriminasi profesi sejawat. Tentu paradigma itu terbentuk tidak memandang
sisi lain, yang mana hanya memandang satu sisi saja, sedangkan dalam
berpendapat seharusnya dari banyak sisi, bukan parsial saja, karena akan
menimbulkan bias.
Penulis lampirkan kembali pasal 1
pada Bab I yang berisi tentang definisi Psikolog dan Ilmuwan Psikologi. Dan,
menurut penulis itu sudah sangat jelas dan tidak mendiskriminasikan salah
satunya. Karena, memang dibutuhkan pembedaan dari masing-masing profesi, bukan
berarti membuat kasta. Pembedaan dalam artian bahwa memang dalam disiplin ilmu Psikologi
ada klasifikasi tertentu mengenai profesi. Di Indonesia memang menentukan
seperti itu. Menurut penulis, harus ada pembedaan dalam penyebutan nama
profesi. Jika memang pada individu yang dari awal telah menjalani pendidikan
bidang Psikologi dan fokus hingga strata yang lebih tinggi, misal hingga
Profesor, maka pantas jika disebut Psikolog. Karena, pada dasarnya selama 4
tahun menduduki bangku kuliah S1 Psikologi pasti sangat mengetahui dasar-dasar
Psikologi itu sendiri. Berbeda dengan individu lain yang Strata Satu
non-Psikologi, akan tetapi pada strata berikutnya memilih Psikologi, juga bukan
salahnya dan juga tidak pantas jika individu tersebut dikatakan tidak fokus
terhadap bidang ilmu yang ditekuninya selama ini. Karena, setiap individu pasti
memiliki minat dan bakat yang belum tentu sesuai dengan pendidikannya kala S1.
oleh karena itu, dalam Kode Etik Psikologi diperinci kembali mengenai definisi
Psikolog dan Ilmuwan Psikologi. Dari definisi tersebut merupakan gerbang awal
dalam pembangunan karakter berlandaskan Kode Etik.
Sebenarnya, embrio pembangunan
karakter dimulai pada saat masih menjadi mahasiswa S1 Psikologi (bagi Psikolog)
dan S2 Psikologi (pada Ilmuwan Psikologi). Semasa masih di bangku kuliah, pasti
ada mata kuliah yang mengajarkan tentang Kode Etik Psikologi yang mana menjadi
mata kuliah inti yang wajib diikuti oleh semua mahasiswa Psikologi. Karena,
nilai-nilai moral mahasiswa Psikologi dapat dilihat melalui nilai mata kuliah
tersebut. Kemudian, pembangunan karakter dapat dibentuk pada saat praktikum tes
Psikologi yang mana ada persyaratan khusus dalam mengikuti praktikum tersebut.
Dilanjutkan pada teori-teori Psikologi yang dapat juga menjadi salah satu acuan
dalam membentuk ciri khusus nati bila menjadi Psikolog atau Ilmuwan Psikologi.
Kemudian, di lapangan pembangunan
karakter dapat lebih dikokohkan melalui organisasi sesuai dengan bidang ilmu
Psikologi, bergaul dan membuat jaringan lebih luas dengan kalangan Psikologi,
dan setelah bangunan karakter itu kokoh maka dapat dilanjutkan dengan pembinaan
karakter.
Kembali pada landasan pasal dalam
Kode Etik, di awal Mukadimah secara eksplisit maupun implisit diungkapkan
pembangunan karakter Psikolog dan Ilmuwan Psikologi. Yang mana intisarinya
ialah Psikolog dan Ilmuwan Psikolog mengabdikan dirinya untuk kepentingan
masyarakat, itu tersirat salah satu bentuk karakter yang mana peduli dengan
kebutuhan masyarakat, dan mengembangkan potensi diri yang ada, agar memahami
diri sendiri.
Berlanjut pada pasa berikutnya, Bab
I pasal 4 tentang perilaku dan citra profesi, di dalam pasa ini diungkapkan
bahwa kalangan Psikologi harus mengindahkan etika dan nilai moral yang berlaku
dalam masyarakat, dan tidak seenaknya sendiri dalam bertindak atau berperilaku,
karena untuk menjaga nama baik profesi. Dan perilaku kalangan Psikologi dapat
mempengaruhi citranya. Sama halnya, yang penulis ungkapkan dalam latar belakang
yang mana, dalam masyarakat Psikolog dan Ilmuwan Psikologi yang masuk dalam
media massa terkesan bijak dan santun, itu merupakan bentuk penjagaan citra
keprofesian.
Kemudian pada Bab II pasal 6 tentang
hubungan dengan profesi lain yang mana, kalangan profesi Psikologi harus
menjaga hubungan dengan profesi lain, ini ada hubungannya dengan paragraf
sebelumnya tentang penjagaan citra diri.
Pada pasal berikutnya, Bab III pasal
8 mengenai sikap profesional dan perlakuan terhadap pemakai jasa atau klien. Tentu
dalam hal ini, kalangan profesi psikologi tidak pilih-pilih dalam membantu
klien, semua harus dibantu tanpa meandang mana yang lebih menguntungkan. Dan
sebelum melakukan hubungan profesional, kalangan profesi Psikologi harus
memberitahu apabila ada kemungkinan negatif dalam pelaksanaannya.
Kemudian, pada pasal 10 mengenai
interpretasi hasil pemeriksaan, kalangan profesi Psikologi hanya boleh
dilakukan oleh Psikolog berdasarkan kompetensi dan kewenangn, oleh karena itu
jika membuka praktik Psikologi harus ada Surat Ijin Praktek agar legal, ini mebuktikan
bahwa Psikolog menjaga keprofesionalitasannya dan mematuhi hukum. Pada pasal
berikutnya mengenai kerahasiaan data dan hasil pemeriksaan, Psikolog harus
menjaga kerahasiaan hasil tes agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan. Dan
pasal 13 tentang pencantuman identitas pada laporan hasil pemeriksaan dan
praktik psikologi, ini bertujuan untuk profesi jujur menuliskan sesuai
kemampuannya.
Dalam pasal 15 tentang karya cipta,
di sini kalangan profesi psikologi dalam pmbangunan karakternya juga harus dapat
menjaga karya orang lain dengan tidak menjiplak, ini melatih kejujuran. Dan
pasal 16 tentang penggunaan dan penguasaan sarana pengukuran psikologik yang
mana semua harus menjaga agar alat-alat tes tidak divuri kalangan selain
profesi mereka.
Contoh lampiran laporan
pemeriksaan
RAHASIA
LAPORAN PEMERIKSAAN
I.
IDENTITAS
Nama : SS
Jenis
Kelamin : Wanita
Tempat,
Tanggal Lahir : Jakarta, 24 September
1984
Usia
(CA) : 24 tahun
Tanggal
Tes : 4 Desember
2008
Pendidikan :
Universitas Brawijaya
Tujuan : Seleksi
Karyawan (resepsionis)
Aspek Intelegensi
(Percentile Point)
|
Intellectual Superior
|
High Average
|
Intellectual Average
|
Low Average
|
Intellectual Defective
|
95
|
|
|
|
|
II.
PSIKOGRAM BAKAT DAN MINAT
aspek yang diukur
|
Kategori
|
||||
BS
|
B
|
S
|
K
|
KS
|
|
A1
– Pemahaman
|
√
|
|
|
|
|
A3 – Penalaran
|
√
|
|
|
|
|
|
Kraepelin
– Performansi Kerja
|
||||
Kecepatan
Kerja
|
|
|
|
√
|
|
Ketelitian
Kerja
|
√
|
|
|
|
|
Keajegan
Kerja
|
|
√
|
|
|
|
Ketahanan
Kerja
|
|
|
√
|
|
|
RMIB
– Kecenderungan Minat
|
I.
Literary II. Mechanical
|
Keterangan
:
BS
= Baik Sekali, B = Baik, S = Sedang, K = Kurang, KS = Kurang Sekali
III.
KESIMPULAN
Dari
hasil tes diketahui bahwa klien mempunyai kemampuan intelegensinya superior,
pemahaman dan penalaran, serta ketelitian kerja yang baik sekali, kecepatan
kerja yang kurang, keajegan kerja yang baik, serta ketahanan kerja yang sedang.
.
Klien memiliki minat yang tinggi pada
pekerjaan yang berhubungan dengan buku-buku, kegiatan membaca dan mengarang ,
serta testee memiliki minat yang tinggi pada pekerjaan yang berhubungan atau
mnggunakan mesin, alat-alat dan daya mekanik.
IV.
SARAN
Dari hasil tes,
sesuai bakat dan minatnya klien disarankan untuk memilih pekerjaan yang sesuai
seperti resepsionis, berarti klien dinyatakan diterima sebagai resepsionis,
karena telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dengan terus
meningkatkan kecepatan kerjanya.
Malang, Desember 2008
Pemeriksa
Endahing Noor Iman Pustakasari
07410003
Kesimpulan
Dari pemaparan dalam bab pembahasan
dapat dismpulkan bahwa, embrio pembangunan karakter dimulai dari mengikuti mata
kuliah Kode Etik Psikologi semasa menduduki bangku kuliah, kemudian mengikuti
praktikum dengan persyaratan tertentu juga dapat membentuk karakter. Ketika
lulus, pembangunan karakter lebih dikokohkan melalui mengikuti organisasi
sesuai dengan disiplin ilmu Psikologi.
Sebenarnya, peran Kode Etik
Psikologi sangat penting dan dibutuhkan kalangan profesi Psikologi (Psikolog
dan Ilmuwan Psikologi), karena kode etik merupakan nilai-nilai dan moral dalam
menjalani profesi agar tidak sekehemdak sendiri, semua pasti ada pengaturnya.
Dan ini juga mempengaruhi etos kerja kalangan profesi Psikologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Butuh banget masukan dan komentar yg membangun, trims yaaa... :)