Kemarin siang seperti biasa kegiatan di akhir bulan yakni
berkumpul dengan keluarga. Ibu saya tiba di Malang tepa lima hari yang lalu.
Saya janjian dengan kakak pertama saya di terminal Lnadungsari, boleh dikatakan
kalo saya dan kakak takut menyetir motor, bahasa kerennya sih, karna ketularan
kecemasan ibu kami. Ya sudahlah, itu di luar konteks.
Sedikit terlambat saya dan ibu tiba di terminal Landungsari,
kakak saya sudah manyun gitu. Karena, keponakan saya, si Afif sedang sakit
batuk dan pilek, penyakitnya anak kecil. Tiba-tiba ada orangtua laki-laki
beretnis tionghoa memasuki angkot kami yang sedang menunggu penumpang lainnya,
awalnya berjalan lancer. Sehingga, tiba-tiba saya mencium bau pesing yang
berasal dari om-om cina itu. Teman om itu menunggu di luar angkot, dan om itu
minita turun dari angkot.
Saya berpura-pura tidak tahu, sampai semua orang seisi
angkot menyadari bau pesing tersebut. Saya tetap berpura-pura tidak tahu karena
saya mengerti kondisi om itu kalo sedang menderita sakit stroke. Sehingga, saya
menyimpulkna bahwa NGGAK ADA YANG SALAH SAMA OM ITU KALAU PIPIS DI CELANA. Walaupun
secara etika social itu tidaklah sopan, alangkah lebih baik kita mentolerir
tindakan om-om itu.
Jujur saya sebal dengan respon negatif yang ditnjukkan penumpang
angkot yang akhirnya jalan juga itu angkot, kayak ibu-ibu muda, ibu paroh baya
bahkan anak kecil. Saya sebal karena, mereka tidak peduli dengan apa yang
dirasakan om itu. Terlihat sekali, om itu menampakkan wajah malu dan bersalah.
Tapi, mau gimana lagi, namanya juga orang sedang sakit, masa’ kita masih menyalahkan
om itu? I think it’s not fair. Apakah
cukup saya adil bila mengatakan maklum kepada para penumpang yang menutup
hidung mereka karena mereka kurang merasakan kekuatan pendidikan di bangku
sekolah dulu, sehingga harus tahu bagaimana untuk bersikap yang baik?
Social judgement yang ditunjukkan oleh penumpang angkot itulah sebagian
kecil gambaran ketidakpedulian kita sebagai masyarakat yang peduli dengan
penderita stroke. Public area facilities
di Indonesia yang notabene belumlah humanis bagi para penderita atau orang
berkebutuhan khusus juga memberikan efek tertentu bagi si empunya faktor x. Ini
Indonesia yang katanya ramah, namun masih kurang peduli dengan saudaranya
sendiri.
Saya dan ibu saya tidak menutup hidung walapun kami mencium
bau pesing, apalagi om itu tepat berada di depan saya. Saya tetap asik makan
roti walaupun bau pesing menyengat hidung. Saya melakukan itu karena saya
sebagai manusia yang sehat jasmani dan mindset saya, terlebih saya adalah
manusia yang belajar di bangku kuliah, maka saya harus tahu bagaimana untuk
beretika humanis di lingkungan masyarakat, itu sebagai bentuk dukungan social saya
kepada para empu pemilik faktor x.
Apabila sikap para penumpang angkot yang kurang menyenangkan
seperti kemarin itu, dapat menurunkan semangat sembuh bagi si om, dan
kebermaknaan hidupnya yang bisa menurun. Akhirnya kesejahteraan psikologis
berapa orang lagi yang akan terancam karena labeling masyarakat atas sakitnya
itu?
Dan, seharusnya keluarga om itu juga peduli bagaimana untuk
memperlakukan om itu ketika di lingkungan masyarakat, bisa saja toh om itu
dibelikan popok dewasa, harganya antara 30-70ribu di swalayan (karena, saya
selalu membelikan popok dewasa untuk nenek saya yang berusia 83 tahun), masa’
segitu aja nggak mampu beli? agar om itu tidak mengganggu kenyamanan
masyarakat. Kepedulian inter-individual itu sangat diperlukan demi kesembuhan
om itu dan kenyamanan bersama. Intinya, kita harus sama-sama tahu untuk
bersikap seharusnya di lingkungan masyarakat lah, nggak seenaknya sendiri gitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Butuh banget masukan dan komentar yg membangun, trims yaaa... :)