“Education is not a preparation of life, but it’s life itself” (John Dewey)
Guru.
Istilah terhadap sosok yang akrab kita dengar sejak pada bangku sekolah tingkat
pertama, yakni Taman Kanak-Kanak (TK) atau bahkan sekarang lagi musim tren
program PAUD dan play group. Sejak
dini, anak sudah mulai dikenalkan sosok “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” itu.
Doktirinisasi mengenai sosok “agung” tersebut melalui internalisasi sejak
perkembangan kognisi anak belum sempurna hingga bisa berpikir abstrak pada masa
remaja bahkan dewasa. Akan tetapi, pernahkah kita berpikir tentang bagaimana
seseorang bisa disebut sebagai guru?
Sungguh ironis apabila melihat fakta
sekarang, para guru berlomba mengejar target pengajaran hanya untuk naik
pangkat semata, contoh konkretnya adalah sertifikasi guru mau pun dosen,
sampai-sampai kewajiban utama seperti mengajar menjadi terbengkalai. Memang benar,
jika kesejahteraan para pendidik kita harus diperhatikan, akan tetapi tahu
kondisi dan manajemen waktu itu akan diuji. Yang dimaksudkan di sini yaitu tahu
kondisi dimana waktu mengajar, dan waktu mengurus kesejahteraan diri, manajemen
waktu dalam hal memenuhi hak dan kewajiban juga perlu dipertimbangkan. Itu dari
segi pribadi para pendidik kita.
Setidaknya,
ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara guru dan peserta
didik untuk mewujudkan tujuan pendidikan itu sendiri, terutama tujuan
pendidikan nasional, mungkin yang sudah biasa didengar oleh kalangan
pendidikan, dalam UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3 menyebutkan,
"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang."
Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia."
Dalam
UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, yakni: Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Di dalam proses pendidikan ada perilaku belajar yang apabila disertai dengan
kesadaran, maka akan tercipta masyarakat belajar dibarengi dengan pengondisian
secara sengaja di lingkungan itu.
Jadi, pada intinya tujuan pendidikan
nasional yakni menjadikan manusia yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan YME,
artinya tujuan pendidikan nasional tidak jauh berbeda dengan kandungan yang ada
dalam Pancasila. Dengan tujuan pendidikan nasional itu akan mempengaruhi
karakter bangsa, yang dimaksudkan karakter bangsa merupakan ciri khas sifat dan
sikap yang termanifestasi dalam perilaku sehari-hari rakyat bangsa Indonesia.
Dari karakter bangsa itu akan melahirkan generasi-generasi yang sadar akan
mendalami bangsanya sendiri, salah satu caranya adalah dengan belajar dimana
pun dan kapan pun, serta bersumber atau berguru pada siapa pun. Karena, yang
dikatakan sebagai guru bukan berarti harus memiliki nomor anggota atau
terdaftar jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) saja, semua orang bisa menjadi guru
apabila mau mengambil pelajaran dari setiap kehidupan.
Itulah yang termaknai dariperingatan hari guru nasional, setiap tanggal 25 November. Walau pun Hari Guru
Nasional bukan hari libur resmi kenegaraan, akan tetapi penting diperingati
yang bukan sekedar upacara kedinasan atau memberikan penghargaan formalistik di
instansi-instansi pendidikan atau kenegaraan atas jasa para guru. akan tetapi,
lebih baik dimaknai sebagai hari untuk melangkah dan memantapkan diri menjadi
pribadi yang lebih baik, kompeten, berkualitas, kapabel, dalam mencerdaskan
kehidupan anak bangsa.
Langkah awal yang konkret adalah
mengagendakan pendidikan karakter, tidak hanya bagi peserta didik, akan tetapi
juga bagi para guru atau pendidik, karena para guru atau pendidik juga termasuk
sebagai anak bangsa. Pendidikan karakter, banyak dikaitkan dengan pengertian
budi pekerti, akhlak mulia, moral, dan bahkan dengan kecerdasan ganda (multiple
intelligence).
Para
ahli pendidikan karakter membagi beberapa pilar yang ada dalam pendidikan
karakter, yakni responsibility
(tanggung jawab), respect
(rasa hormat), fairness (keadilan), courage (keberanian), honesty
(kejujuran), citizenship (kewarganegaraan), self-discipline
(disiplin diri), caring (peduli), dan perseverance (ketekunan).
Dari pilar-pilar tersebut bisa ditanamkan kembali dalam pendidikan karakter
menurut nilai-nilai ketimuran bangsa kita, dan dimantapkan dengan nilai-nilai
khas Islam sebagai penguat pondasi karakter bangsa.
Dari proses penanaman dan pemantapan karakter bangsa
itu ada proses belajar di dalamnya, keberhasilan perilaku belajar ditunjukkan
melalui perubahan kognitif dan sikap bahkan tindakan dalam berkehidupan
sehari-hari, termasuk akan selalu ketagihan mencari ilmu di mana pun dan kapan
pun. Dari hasrat keinginan tersebut, pribadi berkarakter itu akan mengajak
pribadi lain untuk berperilaku sama dengannya, sehingga akan tercipta
masyarakat belajar, dengan pengondisian sengaja tersebut.
Sumber gambar : www.google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Butuh banget masukan dan komentar yg membangun, trims yaaa... :)